Hari Hak
Asasi Manusia dirayakan tanggal 10 Desember
setiap tahun oleh banyak negara di seluruh dunia. Tanggal ini dipilih
International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum Humanisme untuk menghormati
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia, pada 10
Desember 1948.
Peringatan dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan
organisasi yang peduli untuk merayakan.
Membicarakan hak asasi manusia (The human right issues) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada
bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia . Pengakuan atas eksistensi manusia
menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa, Allah SWT sudah selayaknya mendapat apresiasi secara positif.
Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi
HAM telah berkembang sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi objek
kajian yang menarik.
HAM terus berkembang seiring dengan perkembangan wajah dan tuntutan diri manusia
itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan
masyarakatnya. Pengaruh yang berada di sekitar wacana HAM layak di
pertimbangkan sebagai sebuah kesatuan agar pemahaman yang utuh tentang HAM
dapat diperoleh. Kini, HAM diperbincangkan dengan intens seiring dengan kesadaran manusia
atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam
sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan diseminasi HAM
terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas teritorial negara. Begitu
derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang
diidentifikasi telah melanggar HAM, dengan sekejap mata Nation State di belahan
bumi ini memberikan respon, terlebih negara yang diberi julukan ‘Adi Kuasa’,
memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan
sebagainya.
Di Indonesia, HAM masuk dengan ‘indah’ ke dalam pemikiran
anak bangsa. HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam bingkai
formulasi kebijakan dan perkembangan sosio historis dan sosio politis. Dalam
konteks reformasi, tidak jarang juga fenomena euphoria demokrasi menjadikan HAM
sebagai ‘kendaraan’ untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang. HAM kerap kali
mengalami reduksi dan deviasi makna. HAM berubah menjadi dua buah mata pisau
yang pada satu sisi mengedepankan dimensi humanisme manusia, tetapi pada sisi
lain ia terlalu menakutkan bagi setiap orang terlebih bagi pengambil kebijakan
karena di dalamnya sarat akan hegemoni dan korporasi
politik. Hak asasi yang
sejatinya adalah untuk mengamini demensi otoritas manusia sebagai makhluk hidup
yang bermartabat, berubah menjadi HAM yang dinilai sarat dengan dimensi
antrhoposentrisme, egosentrisme, dan individualisme semu.
Pada tataran inilah, kemudian terdapat kecenderungan bahwa HAM telah
mengalami distorsi dan deviasi pemahaman. Selanjutnya, timbulah pertanyaan mendasar. Apakah HAM
sebenarnya? mengapa HAM yang diakui sebagai nilai universal kerap kali
mengalami reduksi dan deviasi pemaknaan, sehingga melenceng jauh dari pesan
fundamentalnya? Atas dasar itu, maka hendaknya ada upaya kaji ulang (reconstruction) terhadap konsep HAM yang
merupakan langkah pertama yang harus serius dilakukan.
Sebagai the starting point, penting dipahami bahwa, Deklarasi Universal HAM
(universal
declaration of human rights) merupakan puncak konseptualisasi pemikiran
manusia dalam menerjemahkan hakikat dan eksistensi dirinya sebagai pribadi,
anggota masyarakat, warga bangsa, bahkan warga dunia. Dalam konsepsinya,
deklarasi ini berhasil merumuskan 30 pasal yang menaungi penghormatan,
penegakan dan penyadaran tentang hak-hak dasar manusia. Setidaknya ada tiga
dimensi yang patut didalami menyangkut deklarasi tersebut apabila permasalahan
ini dikaitkan dengan konteks Indonesia, yaitu dimensi struktural, substansi dan
dimensi kultural. Dari dimensi struktural, deklarasi ini bisa dikatakan
sangat mempengaruhi struktur konstitusi kita. Pasang surutnya HAM dalam
konstitusi kita sangat terkait dengan interpretasi tentang HAM pada setiap
zaman pasca dikeluarkanya UDHR pada 10 Desember 1948 oleh United Nations
(Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dari dimensi substansi, UDHR telah mencakup
seluruh kebutuhan akan penegakan, penghormatan dan penyadaran terhadap
pentingnya HAM dalam peradaban manusia di manapun. Selanjutnya, negara-negara
anggota PBB diwajibkan menyertakan substansi-substansi UDHR dalam konstitusinya
termasuk juga Indonesia. Sedangkan dalam dimensi kultural, PBB menyadari
perbedaan budaya dari setiap negara anggotanya, oleh karenanya dalam pengamalan
substansi UDHR disesuaikan dengan kondisi kultural setiap bangsa.
Dari ketiga dimensi diatas tentunya kita patut mengkaji lagi apakah
struktur dan substansi konstitusi kita telah menyertakan nilai-nilai UDHR dan
sekaligus sudah sesuaikah dengan kondisi kultural bangsa ini.
Munculnya istilah HAM adalah produk sejarah. Istilah itu
pada awalnya adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui
dan melindungi hak-hak dasar manusia dalam berbagai bidang kehidupan, baik
sosial, politik, hukum dan bahkan bidang pendidikan. Dapat dikatakan bahwa
istilah tersebut berkaitan erat dengan realitas sosial dan budaya yang
berkembang.
Para pengkaji HAM mencatat bahwa kelahiran wacana HAM adalah sebagai reaksi
atas tindakan despot yang diperankan oleh penguasa. Dalam bidang pendidikan
contoh kasus R.A. Kartini yang sempat menjadi korban pelanggaran HAM oleh pihak
Belanda hanya karena beliau adalah seorang wanita atau pembatasan akses masuk
lembaga pendidikan bagi kaum miskin rasanya sudah mewakili kondisi di atas.
Tindakan-tindakan tersebut pada akhirnya memunculkan kesadaran baru bagi
manusia bahwa dirinya memiliki kehormatan yang harus dilindungi dan diakui.
Sebagai salah satu sektor penting yang menjamin keberlangsungan masa depan
bangsa Indonesia, maka penegakan HAM dalam dunia pendidikan sangatlah
tergantung dari landasan yuridis dan kebijakan-kebijakan terkait HAM dalam
Negara tersebut.
Memang, persoalan HAM tidak hanya menyangkut sektor pendidikan semata, akan
tetapi mengingat pentingnya sektor ini dalam keberlangsungan sebuah negara dan
masa depanya, maka penegakan HAM dalam ranah pendidikan haruslah diprioritaskan
oleh penyelenggara pemerintahan. Disinilah wacana terkait eksistensi HAM dalam pendidikan
mencuat. Yakni, pendidikan sebagai motor pencetak generasi penerus bangsa
haruslah mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Salah
satunya dikarenakan subyek dan obyek pendidikan adalah manusia itu sendiri dan
apabila hak-hak dasarnya tidak diutamakan, maka akan berdampak fundamental
terhadap proses dan hasil dari pendidikan itu. Tugas yang disematkan kepada
pendidikan tersebut tentunya membutuhkan landasan yuridis konstitusional
sebagai acuan dan payung hukum perjalanan pendidikan kita. Dikarenakan
Undang-Undang merupakan sebuah landasan ideologis dalam setiap tindakan yang
memberi ikatan ideologis antara yang berkuasa dan rakyat, undang-undang juga
merupakan mekanisme lembaga-lembaga Negara (termasuk lembaga yang terkait
dengan pendidikan) dalam menjalankan proses berlangsungnya sebuah pemerintahan
undang-undang juga merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat)
dan yang memerintah (penguasa, pemerintah).
Jaminan konstitusi yang paling tepat dalam menaungi perjalanan pendidikan
kita adalah konstitusi utama Indonesia, yakni UUD 1945. Di dalam UUD 1945
sendiri, ternyata jaminan penegakan atas HAM dalam pendidikan masih tergambar
secara umum dalam setiap pasalnya. Akan tetapi undang-undang yang berada
setingkat dibawahnya yakni UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah lebih
sistematis mencantumkan indikasi penegakan dan penghormatan atas HAM. Dalam
konteks ini (UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas), pencantuman secara
eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan konsensus. Namun demikian,
selama ini penafsiran HAM mengalami pasang surut yang lebih bersifat politis.
Lebih dari itu, kesan subyektif dan hegemonik juga sangat terkesan tatkala
kebijakan-kebijakan pemerintah terkait ranah pendidikan jauh dari pertimbangan
penegakan HAM.