Selasa, 14 Februari 2017

HAK ASASI MANUSIA (the human right issue) DALAM DIMENSI PENDIDIKAN



Hari Hak Asasi Manusia dirayakan tanggal 10 Desember setiap tahun oleh banyak negara di seluruh dunia. Tanggal ini dipilih International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum Humanisme untuk menghormati Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengadopsi dan memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, sebuah pernyataan global tentang hak asasi manusia, pada 10 Desember 1948. Peringatan dimulai sejak 1950 ketika Majelis Umum mengundang semua negara dan organisasi yang peduli untuk merayakan.
Membicarakan hak asasi manusia (The human right issues) berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia . Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT sudah selayaknya mendapat apresiasi secara positif. Namun penting bagi kita, yang hidup pada saat konsepsi HAM telah berkembang sedemikian rupa bahwa dewasa ini HAM telah menjadi objek kajian yang menarik.
HAM terus berkembang seiring dengan perkembangan wajah dan tuntutan diri manusia itu sendiri yang cenderung dipengaruhi oleh lokalitas lingkungan diri dan masyarakatnya. Pengaruh yang berada di sekitar wacana HAM layak di pertimbangkan sebagai sebuah kesatuan agar pemahaman yang utuh tentang HAM dapat diperoleh. Kini, HAM diperbincangkan dengan intens seiring dengan kesadaran manusia atas hak yang dimilikinya. Ia menjadi aktual karena sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan diseminasi HAM terus berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas teritorial negara. Begitu derasnya kemauan dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasi telah melanggar HAM, dengan sekejap mata Nation State di belahan bumi ini memberikan respon, terlebih negara yang diberi julukan ‘Adi Kuasa’, memberikan kritik, tudingan, bahkan kecaman keras seperti embargo dan sebagainya.
Di Indonesia, HAM masuk dengan ‘indah’ ke dalam pemikiran anak bangsa. HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosio historis dan sosio politis. Dalam konteks reformasi, tidak jarang juga fenomena euphoria demokrasi menjadikan HAM sebagai ‘kendaraan’ untuk menjerat dan menjatuhkan seseorang. HAM kerap kali mengalami reduksi dan deviasi makna. HAM berubah menjadi dua buah mata pisau yang pada satu sisi mengedepankan dimensi humanisme manusia, tetapi pada sisi lain ia terlalu menakutkan bagi setiap orang terlebih bagi pengambil kebijakan karena di dalamnya sarat akan hegemoni dan korporasi politik. Hak asasi yang sejatinya adalah untuk mengamini demensi otoritas manusia sebagai makhluk hidup yang bermartabat, berubah menjadi HAM yang dinilai sarat dengan dimensi antrhoposentrisme, egosentrisme, dan individualisme semu.
Pada tataran inilah, kemudian terdapat kecenderungan bahwa HAM telah mengalami distorsi dan deviasi pemahaman. Selanjutnya, timbulah pertanyaan mendasar. Apakah HAM sebenarnya? mengapa HAM yang diakui sebagai nilai universal kerap kali mengalami reduksi dan deviasi pemaknaan, sehingga melenceng jauh dari pesan fundamentalnya? Atas dasar itu, maka hendaknya ada upaya kaji ulang (reconstruction) terhadap konsep HAM yang merupakan langkah pertama yang harus serius dilakukan.
Sebagai the starting point, penting dipahami bahwa, Deklarasi Universal HAM (universal declaration of human rights)  merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia dalam menerjemahkan hakikat dan eksistensi dirinya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga bangsa, bahkan warga dunia. Dalam konsepsinya, deklarasi ini berhasil merumuskan 30 pasal yang menaungi penghormatan, penegakan dan penyadaran tentang hak-hak dasar manusia. Setidaknya ada tiga dimensi yang patut didalami menyangkut deklarasi tersebut apabila permasalahan ini dikaitkan dengan konteks Indonesia, yaitu dimensi struktural, substansi dan dimensi kultural. Dari dimensi struktural, deklarasi ini bisa dikatakan sangat mempengaruhi struktur konstitusi kita. Pasang surutnya HAM dalam konstitusi kita sangat terkait dengan interpretasi tentang HAM pada setiap zaman pasca dikeluarkanya UDHR pada 10 Desember 1948 oleh United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Dari dimensi substansi, UDHR telah mencakup seluruh kebutuhan akan penegakan, penghormatan dan penyadaran terhadap pentingnya HAM dalam peradaban manusia di manapun. Selanjutnya, negara-negara anggota PBB diwajibkan menyertakan substansi-substansi UDHR dalam konstitusinya termasuk juga Indonesia. Sedangkan dalam dimensi kultural, PBB menyadari perbedaan budaya dari setiap negara anggotanya, oleh karenanya dalam pengamalan substansi UDHR disesuaikan dengan kondisi kultural setiap bangsa.
Dari ketiga dimensi diatas tentunya kita patut mengkaji lagi apakah struktur dan substansi konstitusi kita telah menyertakan nilai-nilai UDHR dan sekaligus sudah sesuaikah dengan kondisi kultural bangsa ini. Munculnya istilah HAM adalah produk sejarah. Istilah itu pada awalnya adalah keinginan dan tekad manusia secara universal agar mengakui dan melindungi hak-hak dasar manusia dalam berbagai bidang kehidupan, baik sosial, politik, hukum dan bahkan bidang pendidikan. Dapat dikatakan bahwa istilah tersebut berkaitan erat dengan realitas sosial dan budaya yang berkembang.
Para pengkaji HAM mencatat bahwa kelahiran wacana HAM adalah sebagai reaksi atas tindakan despot yang diperankan oleh penguasa. Dalam bidang pendidikan contoh kasus R.A. Kartini yang sempat menjadi korban pelanggaran HAM oleh pihak Belanda hanya karena beliau adalah seorang wanita atau pembatasan akses masuk lembaga pendidikan bagi kaum miskin rasanya sudah mewakili kondisi di atas. Tindakan-tindakan tersebut pada akhirnya memunculkan kesadaran baru bagi manusia bahwa dirinya memiliki kehormatan yang harus dilindungi dan diakui. Sebagai salah satu sektor penting yang menjamin keberlangsungan masa depan bangsa Indonesia, maka penegakan HAM dalam dunia pendidikan sangatlah tergantung dari landasan yuridis dan kebijakan-kebijakan terkait HAM dalam Negara tersebut.
Memang, persoalan HAM tidak hanya menyangkut sektor pendidikan semata, akan tetapi mengingat pentingnya sektor ini dalam keberlangsungan sebuah negara dan masa depanya, maka penegakan HAM dalam ranah pendidikan haruslah diprioritaskan oleh penyelenggara pemerintahan. Disinilah wacana terkait eksistensi HAM dalam pendidikan mencuat. Yakni, pendidikan sebagai motor pencetak generasi penerus bangsa haruslah mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Salah satunya dikarenakan subyek dan obyek pendidikan adalah manusia itu sendiri dan apabila hak-hak dasarnya tidak diutamakan, maka akan berdampak fundamental terhadap proses dan hasil dari pendidikan itu. Tugas yang disematkan kepada pendidikan tersebut tentunya membutuhkan landasan yuridis konstitusional sebagai acuan dan payung hukum perjalanan pendidikan kita. Dikarenakan Undang-Undang merupakan sebuah landasan ideologis dalam setiap tindakan yang memberi ikatan ideologis antara yang berkuasa dan rakyat, undang-undang juga merupakan mekanisme lembaga-lembaga Negara (termasuk lembaga yang terkait dengan pendidikan) dalam menjalankan proses berlangsungnya sebuah pemerintahan undang-undang juga merupakan social contract antara yang diperintah (rakyat) dan yang memerintah (penguasa, pemerintah).
Jaminan konstitusi yang paling tepat dalam menaungi perjalanan pendidikan kita adalah konstitusi utama Indonesia, yakni UUD 1945. Di dalam UUD 1945 sendiri, ternyata jaminan penegakan atas HAM dalam pendidikan masih tergambar secara umum dalam setiap pasalnya. Akan tetapi undang-undang yang berada setingkat dibawahnya yakni UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah lebih sistematis mencantumkan indikasi penegakan dan penghormatan atas HAM. Dalam konteks ini (UU no.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas), pencantuman secara eksplisit seputar HAM muncul atas kesadaran dan konsensus. Namun demikian, selama ini penafsiran HAM mengalami pasang surut yang lebih bersifat politis. Lebih dari itu, kesan subyektif dan hegemonik juga sangat terkesan tatkala kebijakan-kebijakan pemerintah terkait ranah pendidikan jauh dari pertimbangan penegakan HAM.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar