Selasa, 14 Februari 2017

MENGUKUR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MAJALENGKA MELALUI POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA



Berbicara mengenai bagaimana mengukur kesejahteraan masyarakat pastilah tidak terlepas dari hukum Engels yang menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli makanan. Dengan kata lain bahwa, porsi pengeluaran konsumsi bergeser dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan, semakin rendah porsi pengeluaran konsumsi pangan dan semakin tinggi porsi pengeluaran untuk non pangan maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi masyarakat maka porsi pengeluaran konsumsi bergeser dari pengeluaran untuk pokok pangan ke pengeluaran sekunder, semakin rendah porsi pengeluaran konsumsi pangan pokok dan semakin tinggi porsi pengeluaran sekunder maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan standar hidup suatu rumah tangga. Pola konsumsi diperoleh dengan menghitung persentase jumlah pengeluaran pangan asal ternak yaitu, membagi jumlah pengeluaran pangan asal ternak yang dikonsumsi dengan jumlah total pengeluaran pangan yang dikonsumsi dikali seratus persen atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

Sedangkan perilaku konsumsi adalah jumlah frekuensi dalam mengkonsumsi pangan yang dilakukan oleh suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka waktu tertentu dan dilakukan berulang-ulang. Penentuan frekuensi konsumsi pangan menggunakan rumus Food Frequency Questionnaire (FFQ) Frekuensi konsumsi pangan selanjutnya diberi bobot dan dikategorikan menjadi frekuensi tinggi (skor 66,7), sedang (skor 33,4-66,6) dan rendah (skor 33,3).
Tabel SkorFrekuensi Konsumsi Pangan
Frekuensi konsumsi pangan
 per minggu
Frekuensi konsumsi pangan
per bulan
Skor
Tidak pernah (0 kali/minggu)
Tidak pernah (0 kali/bulan)
0
Jarang (1 kali/ minggu)
Jarang (1-7 kali/ bulan)
1
Kadang-kandang (2-3 kali/ minggu)
Kadang-kandang (8-15 kali/ bulan)
10
Sering (4-6 kali/ minggu)
Sering (16-27 kali/ bulan)
25
7 kali/ minggu
28-30 kali/ bulan
25
7 kali/ minggu
30 kali/ bulan
50

Faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku konsumsi masyarakat
1.             Jumlah Anggota Rumah Tangga
Jumlah anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa. Semakin banyak  anggota rumah tangga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya jiwa dalam rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota rumah tangga lainnya yang menjadi tanggungan dari pengelolaan sumberdaya rumah tangga yang sama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan konsumsi pangan menurun dengan semakin besarnya jumlah rumah tangga. Rumah tangga dengan jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengkonsumsi bahan pokok pangan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota yang lebih sedikit. Biasanya rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga banyak faktor kuantitas akan lebih diutamakan daripada faktor kualitas pangan. Demikian pula jumlah anak yang tertanggung dalam keluarga dan anggota-anggota keluarga yang cacat maupun lanjut usia akan berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu rumah keluarga. Mereka tidak bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga mereka bergantung pada kepala keluarga dan istrinya. Anak-anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup lainnya.
2.             Pendapatan Rumah Tangga
Tujuan seorang anggota rumah tangga melakukan suatu jenis pekerjaan adalah untuk memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Kumpulan pendapatan dari berbagai sumber merupakan pendapatan total rumah tangga. Sumber pendapatan yang beragam tersebut dapat terjadi karena anggota rumah tangga yang bekerja, melakukan lebih dari satu jenis kegiatan. Semakin besar pendapatan, semakin menurun persentase yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pendapatan adalah : (i) volume produksi, (ii) pendapatan penjualan ternak, (iii) jumlah ternak yang dipelihara, (iv) besarnya modal yang dimiliki, (v) kapasitas kerja para pekerja, (vi) kontrol dan alokasi biaya.
Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli rumah tangga. Suatu rumah tangga akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan tingkat daya beli rumah tangga tersebut. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang lebih besar bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah maupun gizinya. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga yang pendapatannya rendah. Menurut Hukum Engel, pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya, bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat. Tingkat pendapatan yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya. Sebaliknya, apabila pendapatan rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dengan jumlah yang diperlukan.
3.             Usia Ibu Rumah Tangga
Perbedaan usia mengakibatkan perbedaan konsumsi produk dan jasa. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek dari suatu produk dan jasa. Siklus hidup seseorang akan ditentukan oleh usianya. Sejak lahir ke dunia, seorang manusia telah menjadi konsumen, ia terus menjadi konsumen dengan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan usianya.
Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam mengurus rumahtangga  sehingga mereka umumnya mengurus rumahtangga  didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kebutuhannya sendiri daripada kebutuhan keluarganya, sehingga kuantitas dan kualitas pola konsumsi kurang baik.
4.             Pendidikan Ibu Rumah Tangga
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga. Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan konsumsi pengeluaran rumah tangga bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan keluarga sehingga cenderung memilih makanan yang murah tetapi memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga kebutuhan gizi dapat terpenuhi. Tingkat pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga, juga berperan dalam penyusunan pola konsumsi pangan rumah tangga. Susunan konsumsi pengeluaran rumah tangga peternak dapat diubah dengan proses pendidikan, penerangan dan penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan konsumsi pengeluaran rumah tangga adalah relatif sulit. Seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih baik  sangat responsive terhadap informasi (Post, 2002).  Sejalan dengan uraian di atas pola konsumsi yang ada di masyarakat sangat dipengaruhi oleh pendidikan terutama pendidikan tentang diversifikasi konsumsi pangan.
5.             Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dikelompokan menjadi dua macam, diantaranya yang pertama adalah pengeluaran untuk konsumsi pangan dan pengeluaran untuk konsumsi non pangan, pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga yang secara umum dikenal masyarakat yaitu empat sehat lima sempurna dialokasikan untuk pengeluaran pangan sumber karbohidrat, sumber protein hewani asal ternak, sumber protein hewani non ternak, sumber protein nabati, sumber vitamin dan mineral serta pangan lainnya.  Pangan sumber karbohidrat terdiri dari beras, jagung, ubi kayu, ketela pohon/gaplek dan terigu. Pangan sumber protein hewani asal ternak daging, telur dan susu. Pangan sumber protein hewani non ternak ikan (segar, asin dan awetan). Pangan sumber  protein nabati tahu, tempe. Jenis pangan sayuran dan buah-buahan termasuk dalam kelompok pangan sumber vitamin dan mineral. Sedangkan kelompok pangan lainnya terdiri dari minyak goreng, gula, kopi, teh, rokok, biscuit dan pangan lainnya. Sedangkan pengeluaran untuk konsumsi non pangan diantaranya, listrik, angsuran, tabungan, investasi, pulsa dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat bermanfaat sebagai acuan pemerintah Kabupaten Majalengka dalam memetakan program pembangunan di Kabupaten Majalengka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar