Berbicara mengenai
bagaimana mengukur kesejahteraan masyarakat pastilah tidak terlepas dari hukum Engels yang menyatakan bahwa semakin
sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli
makanan. Dengan kata lain bahwa, porsi pengeluaran konsumsi bergeser dari pengeluaran
untuk pangan ke pengeluaran non pangan, semakin rendah porsi pengeluaran
konsumsi pangan dan semakin tinggi porsi pengeluaran untuk non pangan maka
tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Semakin tinggi tingkat
sosial ekonomi masyarakat maka porsi pengeluaran konsumsi bergeser dari
pengeluaran untuk pokok pangan ke pengeluaran sekunder, semakin rendah porsi
pengeluaran konsumsi pangan pokok dan semakin tinggi porsi pengeluaran sekunder
maka tingkat kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.
Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu
indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan standar hidup suatu rumah
tangga. Pola konsumsi diperoleh dengan menghitung persentase jumlah pengeluaran
pangan asal ternak yaitu, membagi jumlah pengeluaran pangan asal ternak yang
dikonsumsi dengan jumlah total pengeluaran pangan yang dikonsumsi dikali
seratus persen atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
Sedangkan perilaku konsumsi adalah jumlah
frekuensi dalam mengkonsumsi pangan yang dilakukan oleh suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup
dalam jangka waktu tertentu dan dilakukan berulang-ulang. Penentuan frekuensi
konsumsi pangan menggunakan rumus Food
Frequency Questionnaire (FFQ) Frekuensi konsumsi pangan selanjutnya diberi
bobot dan dikategorikan menjadi frekuensi tinggi (skor
66,7), sedang (skor
33,4-66,6) dan rendah (skor
33,3).
Tabel SkorFrekuensi Konsumsi Pangan
Frekuensi konsumsi
pangan
per minggu
|
Frekuensi konsumsi
pangan
per bulan
|
Skor
|
Tidak pernah (0
kali/minggu)
|
Tidak pernah (0
kali/bulan)
|
0
|
Jarang (1 kali/
minggu)
|
Jarang (1-7 kali/
bulan)
|
1
|
Kadang-kandang
(2-3 kali/ minggu)
|
Kadang-kandang
(8-15 kali/ bulan)
|
10
|
Sering (4-6 kali/
minggu)
|
Sering (16-27
kali/ bulan)
|
25
|
7 kali/ minggu
|
28-30 kali/ bulan
|
25
|
7 kali/ minggu
|
30 kali/ bulan
|
50
|
Faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku konsumsi
masyarakat
1.
Jumlah
Anggota Rumah Tangga
Jumlah
anggota keluarga atau rumah tangga akan menentukan jumlah dan pola konsumsi
suatu barang dan jasa. Semakin banyak
anggota rumah tangga berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan
keluarga yang harus dipenuhi. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya jiwa
dalam rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota rumah tangga
lainnya yang menjadi tanggungan dari pengelolaan sumberdaya rumah tangga yang
sama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan konsumsi
pangan menurun dengan semakin besarnya jumlah rumah tangga. Rumah tangga dengan
jumlah anggota yang lebih banyak akan membeli dan mengkonsumsi bahan pokok
pangan yang lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki anggota
yang lebih sedikit. Biasanya rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga banyak
faktor kuantitas akan lebih diutamakan daripada faktor kualitas pangan. Demikian pula jumlah anak yang tertanggung dalam
keluarga dan anggota-anggota keluarga yang cacat maupun lanjut usia akan
berdampak pada besar kecilnya pengeluaran suatu rumah keluarga. Mereka tidak
bisa menanggung biaya hidupnya sendiri sehingga mereka bergantung pada kepala
keluarga dan istrinya. Anak-anak yang belum dewasa perlu di bantu biaya pendidikan,
kesehatan, dan biaya hidup lainnya.
2.
Pendapatan Rumah Tangga
Tujuan
seorang anggota rumah tangga melakukan suatu jenis pekerjaan adalah untuk
memperoleh pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup anggota
keluarganya. Kumpulan pendapatan dari berbagai sumber merupakan pendapatan
total rumah tangga. Sumber pendapatan yang beragam tersebut dapat terjadi
karena anggota rumah tangga yang bekerja, melakukan lebih dari satu jenis
kegiatan. Semakin besar pendapatan, semakin menurun persentase yang dipakai
untuk memenuhi kebutuhan pokok. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
pendapatan adalah : (i) volume produksi, (ii) pendapatan penjualan ternak,
(iii) jumlah ternak yang dipelihara, (iv) besarnya modal yang dimiliki, (v)
kapasitas kerja para pekerja, (vi) kontrol dan alokasi biaya.
Pendapatan
dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli rumah tangga. Suatu rumah
tangga akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan tingkat daya beli
rumah tangga tersebut. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberi peluang yang
lebih besar bagi rumah tangga untuk memilih pangan yang lebih baik dalam jumlah
maupun gizinya. Keluarga dengan tingkat pendapatan tinggi dapat membeli pangan
dengan lebih beragam dan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan keluarga
yang pendapatannya rendah. Menurut Hukum Engel,
pada saat terjadi peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan
pendapatannya untuk pangan dengan persentase yang semakin kecil. Sebaliknya,
bila pendapatan menurun, persentase yang dibelanjakan untuk pangan semakin
meningkat. Tingkat pendapatan yang tinggi memberikan peluang lebih besar bagi
keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya. Sebaliknya,
apabila pendapatan rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dengan
jumlah yang diperlukan.
3.
Usia
Ibu Rumah Tangga
Perbedaan
usia mengakibatkan perbedaan konsumsi produk dan jasa. Perbedaan usia juga akan
mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek dari suatu produk
dan jasa. Siklus hidup seseorang akan ditentukan oleh usianya. Sejak lahir ke
dunia, seorang manusia telah menjadi konsumen, ia terus menjadi konsumen dengan
kebutuhan yang berbeda sesuai dengan usianya.
Orang tua muda, terutama
ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam mengurus
rumahtangga sehingga mereka umumnya
mengurus rumahtangga didasarkan pada
pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung
menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kebutuhannya sendiri daripada
kebutuhan keluarganya, sehingga kuantitas dan kualitas pola konsumsi kurang
baik.
4.
Pendidikan Ibu Rumah Tangga
Tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola konsumsi
rumah tangga. Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi nilai-nilai yang dianutnya,
cara berpikir, cara pandang bahkan persepsinya terhadap suatu masalah. Pemilihan
dan penentuan dalam penyusunan konsumsi pengeluaran rumah tangga bukanlah
sesuatu yang secara otomatis diturunkan, dalam pengertian heriditer. Ibu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi mudah menerima pesan dan informasi mengenai
gizi dan kesehatan keluarga sehingga cenderung memilih makanan yang murah
tetapi memiliki kandungan gizi yang tinggi sehingga kebutuhan gizi dapat
terpenuhi. Tingkat pendidikan ibu di samping merupakan modal utama
dalam menunjang perekonomian rumah tangga, juga berperan dalam penyusunan pola
konsumsi pangan rumah tangga. Susunan konsumsi pengeluaran
rumah tangga peternak dapat diubah dengan proses pendidikan, penerangan dan
penyuluhan meskipun mengubah suatu susunan konsumsi pengeluaran rumah tangga
adalah relatif sulit. Seseorang yang memiliki pendidikan yang lebih baik sangat responsive terhadap informasi (Post,
2002). Sejalan dengan uraian di atas
pola konsumsi yang ada di masyarakat sangat dipengaruhi oleh pendidikan
terutama pendidikan tentang diversifikasi konsumsi pangan.
5.
Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumah Tangga
Pengeluaran konsumsi rumah tangga dapat dikelompokan
menjadi dua macam, diantaranya yang pertama adalah pengeluaran untuk konsumsi pangan
dan pengeluaran untuk konsumsi non pangan, pengeluaran konsumsi pangan rumah
tangga yang secara umum dikenal masyarakat yaitu empat sehat lima sempurna
dialokasikan untuk pengeluaran pangan sumber karbohidrat, sumber protein hewani
asal ternak, sumber protein hewani non ternak, sumber protein nabati, sumber
vitamin dan mineral serta pangan lainnya.
Pangan sumber karbohidrat terdiri dari beras, jagung, ubi kayu, ketela
pohon/gaplek dan terigu. Pangan sumber protein hewani asal ternak daging, telur
dan susu. Pangan sumber protein hewani non ternak ikan (segar, asin dan
awetan). Pangan sumber protein nabati
tahu, tempe. Jenis pangan sayuran dan buah-buahan termasuk dalam kelompok
pangan sumber vitamin dan mineral. Sedangkan kelompok pangan lainnya terdiri
dari minyak goreng, gula, kopi, teh, rokok, biscuit dan pangan lainnya. Sedangkan
pengeluaran untuk konsumsi non pangan diantaranya, listrik, angsuran, tabungan,
investasi, pulsa dan lain sebagainya.
Mudah-mudahan
tulisan ini dapat bermanfaat sebagai acuan pemerintah Kabupaten Majalengka
dalam memetakan program pembangunan di Kabupaten Majalengka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar